Oktober 23, 2025

Berpindah ke Siapakah Pemegang Saham Pengendali BSG ?

0

MANADO, suluthebat.com – Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 12/POJK.03 Tahun 2020 Tentang Konsolidasi Bank Umum yang mengharuskan bank umum memiliki modal  inti sebesar Rp 3 triliun pada akhir 2022 bagi bank umum dan akhir 2024 kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD), seperti tinggal menghitung hari saja.

Tahun 2022 ini, praktis hanya tersisa 50-an hari dan Indonesia mulai memasuki tahun politik di mana banyak daya dan upaya pemerintah, khususnya pemerintah daerah, yang menjadi pemegang saham di Bank Pembangunan Daerah (BPD) banyak tersedot ke arena pesta demokrasi itu. Entah pileg, pilkada maupun pilpres.

Undang Undang Perbankan dan Undang Undang Perbankan Syariah menetapkan hanya ada dua jenis bank, yaitu bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dan, BPD masuk dalam katagori bank umum yang wajib memenuhi aturan POJK Nomor 12 itu, tentunya di dalamnya temasuk Bank SulutGo (BSG).

Dalam suatu rilis Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap Anggota DK OJK, Dian Ediana Rae, mengatakan tentang kewajiban memenuhi modal inti Rp 3 triliun ini, perlakuan terhadap bank BPD akan sama dengan bank umum lainnya. Yang sedikit berbeda hanya pada deadlinenya saja di mana BPD tenggatnya hingga akhhir 2023, sementara bank umum lain hanya sampai tahun ini.

Untuk memenuhi keharusan memiliki modal inti Rp 3 triliun ini, beberapa bank BPD telah dan sedang mendapatkannya antara lain melalui pola kelompok usaha bank (KUB) seperti solusi yang ditawarkan dalam POJK Nomor 12 itu. KUB mencakup penggabungan, peleburan ataupun integrasi.

PT Bank Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR) menjadi salah satu BPD yang paling banyak diincar koleganya untuk menjalin KUB, selain Bank DKI.

Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi mengungkapkan setidaknya pihaknya sudah berkomuniksi dengan delapan BPD terkait langkah-langkah menuju KUB. Demikian juga dengan Bank DKI yang dilirik BPD Maluku-Malut.

Mencari tambahan modal bagi BPD ini diakui Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah, sebagai sesuatu yang unik, karena pemegang saham BPD adalah pemimpin daerah dengan latar belakang pendidikan beragam, namun umumnya tidak paham perbankan. Sehingga agak sulit bagi mereka untuk sepakat menambah modal bagi bank, apalagi jika anggarannya tidak tersedia.

Tentunya, merger atau akuisisi bukanlah solusi bagi BPD-BPD yang masuk katagori ini. Dengan demikian, KUB menjadi jalan keluar yang paling “enak” di antara pilihan “tak enak” yang mau tak mau harus tetap diambil bila BPD tak ingin turun kasta menjadi BPR.

KUB adalah kerja sama antar bank, di mana terdapat bank tertentu yang masuk menjadi pemegang saham di salah satu atau beberapa bank yang memerlukan tambahan dana untuk memenuhi ketetuan minimal modal Rp 3 triliun itu.

Bank yang masuk ini akan menjadi Pemegang Saham Pengendali (PSP) dengan menyuntikkan sejumlah dana bagi penyertaan modal bank yang bergabung dengannya.

BPD yang telah menempuh skema ini semisal PT Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Tenggara dengan BJBR dan juga PT Bank Maluku Malut dengan Bank DKI dan kabarnya PT Bank Sulteng dengan salah satu anak usaha CT Corporation.

POJK 12/2020 ini memang mengharuskan BPD bekerja lebih ekstra lagi, Karena per Juli 2022 lalu OJK mencatat dari 43 bank umum yang belum memenuhi ketentuan modal inti minimal Rp 3 triliun ini terdapat 12 BPD. Malah ada yang tier1, yang modalnya hanya Rp 900-an miliar.

 Ke-12 BPD tersebut, bila diurutkan sesuai modal intinya yang dapat dilihat berdasarkan laporan keuangan publikasi per 31 Maret 2022 berturut-turut sebagai berikut : BPD Bengkulu di urutan pertama dengan modal inti Rp 910, 9 miliar, BPD Lampung (Rp 1,17 T), BPD Sultra (Rp 1,356 T), BPD Banten (Rp 1,357 T), BPD Maluku Malut (Rp 1,433 T) dan BPD NTB Syariah (Rp 1,473 T).

BPD Sulut atau BSG bank kebanggaan warga Sulawesi Utara dan Gorontalo ini berada di posisi ke-7 dengan modal inti sebesar Rp 1,532, masih di bawah BPD Kalteng (Rp 1,694 T), BPD Jambi (Rp 1,753 T), BPD Kalsel (Rp 2,004 T), BPD NTT (Rp 2,175 T), Bank Aceh Syariah (Rp 2,535 T) dan BPD DIY (Rp 2,799 T).

Akankah BSG ikut BPD Sultra dan BPD Maluku Malut yang ber-KUB dengan sesame Bank Pembangunan Daerah ataukah seperti kabar BPD Sulteng yang menggandeng CT Corp mengingat 24,9 persen saham BSG dimiliki PT Mega Corpora ?

Yang pasti, bila BSG harus KUB, apalagi jika tetap dengan PT Mega Corpora, dalam hal ini Bank Mega sebagai salah satu anak usahanya yang bergerak di perbankan, PSP di BSG ini tak lagi dipegang Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Utara.

Dirut BSG Revino M Pepah yang dimintakan tanggapannya soal ini Jumat (4/11/2022) lalu via WhatsApp, hanya berjanji akan menjelaskannya melalui pembicaraan telepon, namun hingga berita ini diturunkan, tak ada kabarnya meski suluthebat telah beberapa kali menghubunginya.

Kabar dari salah satu pengurus Koperasi Karyawan (Kopkar) BSG yang minta namanya tidak ditulis, RUPS BSG awal tahun ini di Bali telah memberikan “kuasa” kepada Kopkar yang juga menjadi salah satu pemegang saham di BSG untuk menerima pihak luar sebagai salah satu solusi memenuhi modal inti Rp 3 T ini.

Tapi, ini pun agak terjal ditempuh mengingat dana yang harus dipenuhi itu masih sekitar Rp 1,5 T lagi, sementara, berharap pada pesaham pemda, rasanya agak sulit juga. Kita tunggu saja siapa pengendali baru BSG yang tahun depan sudah mulai ketahuan.(deky geruh, dari berbagai sumber).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *